Tentang Fintech dan Bank Digital, Transformasi Layanan Keuangan Masa Kini

Wahyu Wijayanto Avatar



, ,

share

Gedung Hana Bank dan Nobu Bank dekat Semanggi Jakarta

Apa itu Fintech dan Bank Digital?

Kata Fintech diambil dari singkatan dua kata Bahasa Inggris yaitu Financial dan Technology yang kalau diterjemahkan secara langsung adalah Teknologi Keuangan. Pada dasarnya Fintech itu adalah adalah inovasi teknologi di bidang untuk memudahkan akses, efisiensi, dan kualitas layanan keuangan. Banyak jenis fintech yang bis akita temui sehari-hari, tapi mungkin yang paling terkenal adalah jenis Fintech pinjaman online (Pinjol). Padahal jenis fintech itu ada banyak, mulai dari pinjol itu sendiri atau secara teknis mereka adalah P2P Lending Platform, lalu ada juga Bank Digital, Pembayaran Digital (termasuk ewallet), Manajemen Keuangan dan Investasi, sampai Asuransi Online. Kali ini kita akan focus sama P2P lending (Pinjol) dan Bank Digital dulu aja kali yaa. Karena dua jenis fintech ini yang paling popular dan banyak orang pake. Kamu juga pernah pake kan?

Apakah Fintech dan Bank Digital Itu Sama?

Untuk orang yang sudah sering pakai service nya mungkin pertanyaan ini kedengeran agak aneh, ini mirip dengan pertanyaan apakah Blockchain dan Crypto itu sama? Jawabannya adalah beda. Walaupun saling berhubungan, fintech dan digital banking punya perbedaan mendasar. Fintech adalah sebutkan untuk Sektor atau Industri nya, dan sifatnya yang lebih luas. Di dalamnya termasuk semua inovasi teknologi keuangan. Fintech sendiri bisa dibentuk atau didirikan oleh Bank / Lembaga Konvensional atau oleh Lembaga Non-bank. Untuk bank Digital sendiri ini lebih khusus lagi, Sebagai salah satu inovasi di dalam sektor Fintech, Bank Digital punya regulasi dan aturannya sendiri, yang saat ini perlakukannya dipersamakan dengan Bank Konvensional dari segi aturan dan regulasi. Contohnya Bank Digital selain harus patuh dengan regulasi dari OJK, mereka juga harus patuh dengan regulasi dari Bank Indonesia sebagai bank sentral. Sedangkan Fintech lain seperti Asuransi online, Bank Indonesia nggak membuat aturan khusus untuk mereka, hanya OJK yang benar-benar membuat aturan khusus untuk Asuransi Online yang harus mereka patuhi. Walaupun begitu, Asuransi Online tetap harus tunduk dengan aturan BI yang menyangkut hal umum dalam transaksi pembayaran dan penggunaan uang baik uang kartal maupun uang digital.

Sejarah Fintech dan Bank Digital

Di masa awal, fintech dimulai dari teknologi sederhana untuk membantu transaksi keuangan, seperti ATM yang muncul tahun 1960-an dan internet banking di era 90-an. Nah, perkembangan yang benar-benar signifikan itu terjadi setelah krisis keuangan global 2008, dimana masyarakat mulai mencari alternatif layanan keuangan yang lebih fleksibel dan terjangkau. Kalau bank digital sendiri baru muncul sekitar 10 tahun terakhir dan makin populer seiring dengan semakin banyaknya orang yang punya akses internet dan smartphone.

Fintech di Era 1990-an: Awal Mula Revolusi Digital di Dunia Keuangan

Era 90-an itu bisa dibilang jadi tonggak penting untuk sektor fintech, karena saat itu internet mulai dipakai secara luas dalam layanan keuangan. Ada beberapa inovasi penting yang muncul:

  1. Internet Banking
    Bank-bank mulai menawarkan layanan internet banking supaya nasabah bisa mengakses rekening mereka secara online, melakukan transfer, dan memantau transaksi mereka. Bank-bank di Amerika dan Eropalah yang pertama kali menawarkan layanan ini, dan ini jadi cikal bakal digital banking yang kita kenal sekarang.
  2. Lahirnya Layanan Pembayaran Online
    Di era ini, muncul perusahaan fintech besar seperti X.com (Yupp! x.com awalnya adalah perusahaan fintech yang dibuat oleh Elon Musk di tahun 1999) dan Confinity (dibuat oleh Max Levchin dan Peter Thiel di tahun 1998). Dua perusahaan ini akhirnya bergabung menjadi PayPal yang kita kenal sekarang. PayPal ini jadi salah satu platform pembayaran online terbesar yang membuat transaksi internasional jadi lebih gampang.
  3. eCommerce dan Fintech
    Akhir 1990-an itu juga menjadi masa dimana eCommerce mulai tumbuh (contohnya Amazon dan eBay). Nah, karena ini, kebutuhan sistem pembayaran online yang aman juga semakin tinggi. Ini yang membuat teknologi pembayaran online berkembang dan jadi bagian penting dari dunia fintech.

Krisis 2008: Titik Balik Fintech Modern

Walaupun era 90-an sudah mulai ada inovasi dasar dari sektor fintech, krisis finansial 2008 lah yang membuat bisnis fintech berkembang pesat. Kenapa? Ada beberapa alasan:

  1. Berkurangnya Kepercayaan ke Bank Tradisional
    Krisis 2008 membuat banyak orang menjadi kurang percaya dengan bank dalam artian tradisional. Ini yang membuat perusahaan fintech punya kesempatan untuk menawarkan layanan keuangan yang lebih transparan, cepat, dan terjangkau. Banyak orang dan UKM mulai mencari cara lain selain bank tradisional untuk mengurus keuangan mereka.
  2. Teknologi Makin Canggih
    Setelah 2008, teknologi seperti smartphone, cloud computing, dan AI makin berkembang. Ini yang membuat layanan fintech jadi lebih mudah diakses, lebih murah, dan bisa lebih personal untuk penggunanya.
  3. Dukungan Regulasi
    Setelah krisis, banyak pemerintah yang mulai melihat fintech sebagai solusi untuk memberikan layanan keuangan lebih inklusif. Di Indonesia sendiri, OJK mulai membuat aturan khusus untuk fintech sejak 2016, yang menjadikan industri ini bisa berkembang dengan lebih aman dan teratur.
  4. Munculnya P2P Lending dan Crowdfunding
    Setelah krisis 2008, banyak platform P2P lending dan crowdfunding yang bermunculan, menawarkan cara yang lebih mudah untuk mendapatkan pinjaman atau modal. Contohnya seperti LendingClub dan Kickstarter yang jadi pelopor di bidang ini. Di Indonesia sendiri, kita bisa liat contohnya seperti startup Modalku dan Investree yang jadi pelopor P2P lending, atau KitaBisa yang populer di bidang crowdfunding.

Kategori-Kategori Fintech

Kategori fintech umumnya bisa dibagi berdasarkan fungsi utama atau kebutuhan yang diakomodasi. Beberapa kategori yang saat ini sudah populer antara lain:

  1. Bank Digital (Digital Bank):
    Bank digital adalah bank yang beroperasi sepenuhnya secara online, tanpa kantor fisik. Contohnya seperti Blu by Bca dan Bank Jago. Bank digital memungkinkan nasabah untuk mengakses seluruh layanan perbankan melalui aplikasi atau website, dari pembukaan rekening sampai transaksi dan pengelolaan keuangan tanpa perlu sekalipun tatap muka secara langsung dengan petugas Bank.
  2. Pinjaman Online (P2P Lending):
    Platform P2P lending seperti Modalku dan Investree menawarkan akses untuk menghubungkan peminjam dengan pemberi pinjaman. Platform ini membantu pengguna mendapatkan pinjaman dengan proses yang lebih cepat dibanding bank tradisional, dan menawarkan alternatif investasi bagi masyarakat umum.
  3. Permodalan Online (Equity Crowdfunding):
    Permodalan online mencakup platform crowdfunding berbasis ekuitas, seperti Santara dan Bizhare. Platform ini memungkinkan masyarakat untuk ikut memiliki saham di perusahaan atau UKM dengan jumlah investasi yang terjangkau, yang juga membantu perusahaan mendapatkan pendanaan.
  4. Pembayaran Online dan e-Wallet:
    Pembayaran digital mencakup dompet elektronik (e-wallet) seperti OVO, GoPay, dan DANA, yang memungkinkan transaksi tanpa uang tunai di berbagai merchant. Kategori ini juga mencakup payment gateway seperti Midtrans dan Xendit, yang membantu bisnis menerima pembayaran online dari kartu kredit, transfer bank, hingga QR code.
  5. WealthTech (Manajemen Kekayaan):
    WealthTech adalah kategori fintech yang memfokuskan diri  pada pengelolaan kekayaan, investasi, dan perencanaan keuangan pribadi. Contohnya adalah platform Bareksa dan Bibit, yang menawarkan reksa dana dan investasi saham secara online. WealthTech juga mencakup robo-advisor, yang membantu investor memilih portofolio investasi secara otomatis berdasarkan profil risiko masing-masing.
  6. InsurTech (Teknologi Asuransi):
    InsurTech adalah inovasi pada layanan asuransi yang menggunakan teknologi untuk meningkatkan kualitas pengalaman pengguna, mengurangi biaya, dan meningkatkan aksesibilitas. Di Indonesia, ada platform seperti Qoala dan PasarPolis yang menawarkan asuransi mikro dan asuransi berbasis online yang mudah diakses.
  7. RegTech (Regulatory Technology):
    RegTech adalah kategori fintech yang berfokus pada otomatisasi proses compliance dan regulasi. RegTech membantu perusahaan untuk comply terhadap peraturan, menganalisa risiko, dan menghindari penipuan dengan menggunakan teknologi seperti AI dan data analytic. Misalnya, RegTech digunakan oleh bank dan perusahaan fintech untuk mematuhi peraturan anti-pencucian uang (AML) dan “know your customer” (KYC). Biasanya RegTech ini juga banyak dipakai model fintech lainnya untuk membantu mereka dalam onboarding konsumen di platform mereka masing-masing.
  8. Personal Finance:
    Aplikasi personal finance membantu individu mengelola keuangan pribadi, mencatat expense, budgeting, atau untuk tujuan keuangan lainnya. Aplikasi seperti Finansialku di Indonesia adalah contoh aplikasi Personal Finance yang membantu pengguna membuat anggaran dan melacak keuangan personal mereka.
  9. Cryptocurrency dan Blockchain:
    Cryptocurrency adalah bagian dari ekosistem fintech yang berfokus pada teknologi blockchain dan aset digital. Platform seperti Indodax dan Tokocrypto di Indonesia memungkinkan pengguna membeli dan menjual aset digital mereka seperti Bitcoin, Ethereum dll. Sebenarnya, selain untuk investasi, cryptocurrency juga membuka peluang baru dalam transfer antar batas negara dan asset management tanpa perantara karena sistem blockchain yang terdesentralisasi.
  10. Remittance (Pengiriman Uang Lintas Negara):
    Remittance fintech melayani pengiriman uang lintas negara dengan biaya lebih rendah dan kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan metode tradisional. Di luar negeri ada Platform yang bernama Wise (dulu TransferWise) yang menawarkan layanan transfer uang dengan transparansi biaya yang lebih baik dan kurs yang lebih kompetitif. Apakah ada yang tahu kalau di indonesia nama perusahaanya apa?

Tapi, sebenarnya belum ada standar kategori yang baku di industri fintech, karena teknologi terus berkembang, dan definisi serta kategorinya bisa berubah seiring waktu. Kategori di atas hanya pengelompokan yang saat ini dipakai secara umum oleh masyarakat.

Bedanya Bank Digital dengan Digital Banking Bank Konvensional

Banyak orang masih bingung antara Bank Digital dan Digital Banking yang disediakan oleh bank konvensional. Dua-duanya memang menawarkan layanan keuangan berbasis aplikasi, tapi sebenarnya ada perbedaan yang signifikan.

Bank Digital

  • Bank yang sepenuhnya digital
    Bank Digital adalah bank yang dibangun sepenuhnya dalam ekosistem digital, tanpa kantor cabang fisik.
  • Proses Serba Online
    Mulai dari pembukaan rekening hingga transaksi sehari-hari bisa dilakukan langsung melalui aplikasi. Pengguna biasanya cukup diminta menyiapkan KTP dan verifikasi wajah untuk mendaftar.
  • Contoh Bank Digital
    Beberapa contoh bank digital di Indonesia adalah Bank Jago, Bank Neo Commerce, Blu by BCA Digital, LINE Bank, dan Seabank.
  • Fitur unggulan
    Bank digital biasanya punya fitur yang lebih inovatif seperti kartu virtual untuk transaksi online, nama alias atau nickname untuk rekening nasabah dan banyak fitur lainnya. 
  • Gak punya ATM atau kantor sendiri: Bank digital umumnya nggak menyediakan ATM sendiri, tapi nasabah masih bisa menarik uang di ATM bank lain dengan biaya adm yang umumnya kompetitif atau gratis tergantung kebijakan bank digital masing-masing.

Digital Banking pada Bank Konvensional

  • Layanan digital dari bank konvensional
    Digital banking adalah perluasan dari layanan perbankan tradisional yang sudah ada. Biasanya, ini berupa aplikasi mobile banking atau internet banking dari bank konvensional.
  • Proses buka rekening konvensional
    Untuk membuka rekening pertama kali, nasabah biasanya masih perlu datang ke kantor cabang dan membawa dokumen fisik yang diperlukan oleh pihak Bank.
  • Contoh Layanan Digital Banking
    Beberapa contoh layanan digital banking dari bank konvensional antara lain BCA Mobile, Livin’ by Mandiri, BNI Mobile, dan Jenius (Jenius sering dianggap sebagai bank digital, tapi sebenarnya masih beroperasi di bawah BTPN).
  • Biasanya Punya Jaringan ATM dan kantor cabang
    Bank konvensional yang menawarkan layanan digital banking umumnya juga memiliki jaringan ATM dan kantor cabang, dan mendukung kebutuhan transaksi tunai dan layanan langsung.
  • Layanan Lainnya
    Digital banking lebih cocok untuk nasabah yang masih memerlukan layanan fisik, seperti setor atau tarik tunai dalam jumlah besar, atau layanan lain seperti cek/Giro dam safe deposit box (SDB).

Perbedaan Utama Bank Digital vs Digital Banking

  1. Cara Buka Rekening
    • Bank Digital: Proses sepenuhnya online tanpa perlu ke cabang.
    • Digital Banking Konvensional: Harus ke cabang bank dulu untuk membuka rekening awal.
  1. Layanan Fisik
    • Bank Digital: Hampir seluruh layanan dilakukan secara digital tanpa kantor cabang.
    • Digital Banking Konvensional: Tetap menyediakan layanan di kantor cabang dan ATM.
  1. Fitur dan Inovasi
    • Bank Digital: Sering menawarkan fitur-fitur baru dan fleksibel, seperti Kartu virtual, budget monitoring, dan integrasi dengan e-wallet.
    • Digital Banking Konvensional: Fitur umumnya masih terbatas pada layanan standar yang telah di-digitalkan.
  1. Target Pengguna
    • Bank Digital: Cocok untuk pengguna yang lebih sering melakukan transaksi digital dan jarang membutuhkan layanan fisik. Biasanya Individu yang masih muda dan melek teknologi.
    • Digital Banking Konvensional: Sesuai untuk mereka yang kadang masih perlu ke bank untuk keperluan transaksi fisik. Termasuk Individu dan Entitas usaha dari UMKM sampai Korporasi besar.
  1. Biaya
    • Bank Digital: Cenderung lebih rendah biaya admin, bahkan banyak yang menawarkan bebas biaya admin bulanan.
    • Digital Banking Konvensional: Biaya admin umumnya sama dengan bank konvensional sebelum di-digitalisasi.

Kesamaan Bank Digital dan Digital Banking

Baik bank digital ataupun digital banking dari bank konvensional sama-sama diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI), jadi dua-duanya dianggap aman. Pemilihan antara bank digital atau digital banking tergantung pada kebutuhan kamu. Kalau kamu lebih sering melakukan transaksi digital dan jarang ke bank, Bank Digital bisa menjadi pilihan yang lebih praktis dan ekonomis. Tapi, kalau kamu masih membutuhkan layanan perbankan tradisional, Digital Banking dari bank konvensional mungkin lebih sesuai.

Peer-to-Peer (P2P) Lending

Cara Kerja P2P Lending

P2P lending adalah platform pinjaman online (Pinjol) yang mempertemukan pemberi pinjaman (investor) dengan peminjam (borrower) tanpa perantara bank. Yang cara kerjanya secara umum seperti ini:

  1. Pendaftaran dan Verifikasi:
    Calon peminjam mengajukan pinjaman di platform P2P lending, sementara calon pemberi pinjaman mendaftar sebagai investor. Platform akan melakukan proses verifikasi, termasuk memeriksa kelayakan kredit peminjam (Idealnya).
  2. Pengajuan Pinjaman dan Penentuan Suku Bunga:
    Setelah lolos verifikasi, peminjam bisa mengajukan pinjaman. Berdasarkan profil risiko peminjam, platform akan menentukan suku bunga pinjaman yang harus dibayar oleh peminjam. Biasanya, suku bunga ini bervariasi, tergantung dari risiko dan kemampuan peminjam untuk melunasi pinjaman. 
  3. Proses Pendanaan oleh Investor:
    Investor atau pemberi pinjaman bisa memilih untuk mendanai sebagian atau seluruh pinjaman berdasarkan informasi yang ditampilkan di platform. Mereka bisa melihat profil peminjam, tujuan pinjaman, dan tingkat suku bunga.
  4. Pelunasan dan Pembayaran Bunga:
    Setelah dana terkumpul, peminjam akan menerima pinjaman tersebut dan kemudian wajib melakukan pembayaran secara berkala kepada platform untuk selanjutnya diteruskan kepada investor, yang mencakup pokok pinjaman, bunga dan biaya-biaya yang sudah ditentukan di awal.

Kepopuleran P2P Lending di Indonesia

Layanan P2P lending mulai populer di Indonesia sekitar tahun 2016, ketika Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkenalkan regulasi khusus yang mengatur bisnis ini melalui POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Platform P2P lending pertama yang mendapat izin dari OJK adalah Modalku dan Investree, yang juga menjadi pelopor layanan ini di Indonesia.

Platform-platform seperti Modalku dan Investree banyak berfokus pada pendanaan untuk usaha kecil dan menengah (UKM) yang membutuhkan dana cepat tapi terkendala akses ke bank. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia, platform ini semakin berkembang pesat. Walaupun pada akhirnya kabar kurang sedap datang dari Investree! Tapi nanti kita bahas di lain waktu.

Konsumer P2P Lending.

Nah sebenarnya, yang ramai diomongin di masyarakat baik di sosmed atau di tongkrongan adalah jenis P2P Lending yang ini! Konsumer P2P lending ini beroperasi dengan menghubungkan pemberi pinjaman (investor) dan peminjam individu yang perlu dana untuk keperluan konsumtif. Sistem ini biasanya melibatkan platform digital yang menilai profil risiko peminjam, menentukan tingkat bunga, dan mengelola proses penagihan.

Cara Kerja Konsumer P2P Lending

Mirip dengan P2P produktif, investor akan memilih portofolio peminjam atau mendanai secara otomatis berdasarkan profil risiko yang diinginkan. Tapi, tingkat bunga biasanya lebih tinggi untuk pinjaman konsumtif dibanding produktif, karena sifat konsumtif umumnya memiliki risiko lebih besar. Tapi selain bunga, banyak juga perusahaan Fintech Konsumer P2P juga mengenakan beberapa biaya lain kepada peminjam, pastikan kamu cek dengan detail semua komponen biayanya.

Popularitas di Indonesia

Konsumer P2P lending semakin populer seiring dengan bertambahnya platform fintech di Indonesia sejak 2018, dengan nama-nama seperti Kredit Pintar dan Julo yang mendominasi sektor ini pada kala itu. Dalam perkembangannya, semakin banyak investor, termasuk institusi finansial, yang tertarik pada sektor ini karena tingginya imbal hasil (Return) yang didapat dari bisnis ini. Tapi, hal ini juga mengundang perhatian regulator untuk menjaga perlindungan konsumen dan mengurangi potensi risiko gagal bayar yang lebih tinggi pada pinjaman konsumtif.

Regulasi Konsumer P2P Lending

OJK juga sudah mengeluarkan kebijakan ketat untuk mengatur layanan P2P konsumtif, seperti batas suku bunga dan jumlah pinjaman maksimum, untuk mencegah eksposur risiko yang berlebihan bagi konsumen. Pengaturan ini diharapkan dapat menciptakan keseimbangan antara kemudahan akses pinjaman dan keamanan finansial bagi penggunaโ€‹. Cek statistik P2P Lending di sini [OJK

Buy Now Pay Later (BNPL) Alias Paylater

Selain Konsumer P2P lending yang sampai sekarang masih populer, evolusi lanjutan dari skema P2P lending adalah model Buy Now Pay Later (BNPL) atau kita sehari-hari lebih sering dengar istilah Pay Later. Model ini perputarannya juga gak kalah โ€œGilaโ€ dengan Konsumer P2P lending yang lebih khusus melayani peminjaman uang tunai. Di Model Pay Later, konsumen gak secara langsung meminjam uang kepada perusahaan fintech, tapi mereka diberikan semacam โ€œLimit Kreditโ€ mirip dengan model Kartu Kredit yang bisa mereka pakai dengan gampang di merchant-merchant favorit mereka. Dan untuk biaya dan bunganya, Pay Later ini juga gak kalah tingginya dengan Model P2P Lending yang sudah dijelaskan di atas, karena kedua model ini sama-sama melayani konsumen individu yang punya resiko yang jauh lebih tinggi dari profil konsumen bank konvensional.

Crowdfunding

Crowdfunding adalah proses pengumpulan dana dari banyak orang untuk mendanai sebuah proyek atau usaha. Ada beberapa model crowdfunding, di antaranya adalah donasi, hadiah, ekuitas, dan pinjaman:

Cara Kerja Crowdfunding

  1. Donation-based Crowdfunding:
    Pendanaan berbasis donasi di mana โ€œinvestorโ€ nggak mengharapkan imbalan dalam konteks finansial, umumnya digunakan untuk kegiatan amal atau sosial. Platform seperti Kitabisa banyak digunakan oleh masyarakat untuk kegiatan ini di Indonesia.
  2. Reward-based Crowdfunding:
    Dalam model ini, investor menerima hadiah atau produk sebagai imbalan. Model ini populer untuk mendanai proyek kreatif seperti pengembangan produk, film, atau karya seni. Di Indonesia, model ini belum terlalu populer dibandingkan dengan di negara lain. Model ini mirip dengan pre-order produk. Investor atau backer sudah bisa dapat produk yang mereka dukung sebelum produk tersebut benar-benar selesai dibuat. Ini memungkinkan kreator untuk memprediksi permintaan pasar dan mengatur produksi dengan lebih baik. Biasanya backer akan bisa dapat barang yang didukung lebih awal dan harga khusus yang lebih murah (atau bonus spesial) dibandingkan harga sebenarnya ketika launching resmi nantinya.
  3. Equity-based Crowdfunding:
    Pada model ini, investor berinvestasi dan mendapatkan kepemilikan saham di perusahaan atau proyek. Model ini banyak digunakan oleh perusahaan startup yang berniat menghimpun dana dari banyak investor kecil. Di Indonesia, OJK sudah mengatur equity crowdfunding melalui POJK No. 37/POJK.04/2018.
  4. Debt-based Crowdfunding (mirip dengan P2P lending):
    Dalam model ini, investor akan menerima kembali uangnya dalam bentuk pinjaman dengan tambahan bunga tertentu. Ini merupakan bentuk kombinasi antara crowdfunding dan P2P lending.

Kepopuleran Crowdfunding di Indonesia

Crowdfunding di Indonesia juga mulai berkembang sekitar tahun 2015-2016. Untuk jenis donation-based crowdfunding, Kitabisa adalah salah satu platform yang paling dikenal dan banyak digunakan masyarakat. Kitabisa memungkinkan siapa pun untuk membuat kampanye penggalangan dana untuk berbagai keperluan sosial, medis, pendidikan, dan kemanusiaan.

Sedangkan untuk equity-based crowdfunding, platform seperti Santara dan Bizhare mulai populer setelah OJK mengeluarkan peraturan di tahun 2018. Crowdfunding model ini memungkinkan masyarakat untuk ikut memiliki saham di UKM atau startup tanpa harus menjadi investor besar atau menunggu sampai perusahaan itu IPO atau Go Publik.

Perbedaan Utama antara P2P Lending dan Crowdfunding

  1. Tujuan:
    • P2P lending umumnya berfokus pada pinjaman atau pembiayaan usaha kecil dan pembiayaan konsumer, di mana peminjam mengembalikan dana yang diberikan dengan bunga.
    • Crowdfunding lebih luas, mencakup pendanaan usaha, proyek kreatif, kegiatan amal, bahkan investasi ekuitas.
  2. Imbalan bagi Investor:
    • Di P2P lending, Investor mendapatkan bunga sebagai imbalan.
    • Di crowdfunding, imbalan bisa berupa donasi tanpa imbalan, hadiah, kepemilikan saham, atau pinjaman dengan bunga (tergantung modelnya).
  3. Risiko:
    • Risiko pada P2P lending biasanya terkait dengan gagal bayar atau ketidakmampuan peminjam melunasi pinjaman.
    • Di crowdfunding, risiko bisa lebih bervariasi tergantung modelnya, misalnya kegagalan proyek atau kebangkrutan usaha.

Bagaimana Fintech Memudahkan Akses Layanan Keuangan di Daerah Terpencil

Di Indonesia, banyak daerah terpencil yang sulit dijangkau oleh layanan perbankan konvensional, terutama karena tantangan geografis dan terbatasnya infrastruktur fisik. Fintech (diharapkan) hadir sebagai penyelamat di sini dengan berbagai solusi digital yang memungkinkan akses keuangan secara lebih merata. Melalui layanan seperti dompet digital, pembayaran online, dan pinjaman peer-to-peer (P2P), masyarakat di pelosok sekarang punya pilihan layanan keuangan tanpa harus menempuh jarak jauh ke kantor bank yang mungkin jaraknya gak dekat.

Hanya bermodalkan smartphone dan paket data internet, masyarakat bisa mengelola keuangan, melakukan pembayaran, dan bahkan bisa mendapatkan akses pembiayaan untuk usahanya. Misalnya, dengan dompet digital, masyarakat sekaran bisa dengan mudah menyimpan dan mentransfer uang tanpa harus punya rekening bank tradisional. Ini sangat membantu terutama untuk para pedagang kecil atau petani yang sehari-harinya membutuhkan transaksi keuangan tapi gak punya akses ke layanan perbankan biasa.

Layanan P2P lending juga memberikan peluang untuk usaha kecil dan menengah (UMKM) di daerah terpencil untuk mendapatkan pembiayaan dengan syarat yang lebih fleksibel dibandingkan pinjaman bank konvensional (walaupun biasanya biayanya lebih tinggi). Fintech menghapus kebutuhan akan cabang fisik dan birokrasi panjang, membuat proses pengajuan pinjaman jadi lebih cepat dan mudah. Untuk para pelaku UMKM, akses pembiayaan seperti ini bisa jadi kunci untuk meningkatkan bisnis mereka, membantu ekonomi lokal bergerak maju walaupun berada jauh dari pusat-pusat ekonomi.

Digital banking juga punya peran yang gak kalah penting dalam memperluas inklusi keuangan di Indonesia. Dengan digital banking, orang-orang yang sebelumnya mungkin ragu atau gak nyaman berurusan dengan bank, sekarang bisa membuka rekening, melakukan transaksi, dan menggunakan produk keuangan lainnya dengan mudah dari smartphone mereka. Keuntungan utama dari digital banking adalah aksesibilitas yang lebih cepat dan efisien. Semua bisa dilakukan hanya dengan beberapa kali klik.

Efeknya terhadap ekonomi lokal pun sangat terasa. Dengan lebih banyak masyarakat yang memiliki akses ke rekening tabungan dan fasilitas kredit, kesempatan untuk mengembangkan usaha kecil jadi lebih besar. Ini bukan cuma soal mengelola keuangan pribadi, tetapi juga memberi dampak pada ekonomi mikro setempat. Ketika masyarakat punya akses mudah ke tabungan atau pembiayaan usaha, mereka bisa memanfaatkan dana tersebut untuk meningkatkan produktivitas, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan kualitas hidup di lingkungan mereka.

Tantangan yang Dihadapi Fintech dan Bank Digital di Indonesia

Walaupun fintech dan Bank Digital sudah bisa menghadirkan banyak kemudahan, ada juga sejumlah tantangan besar yang dihadapi di Indonesia. Pertama, rendahnya literasi keuangan digital di beberapa daerah membuat masyarakat masih banyak yang belum percaya atau belum paham cara menggunakan layanan ini. Banyak masyarakat yang masih takut akan risiko keamanan data, dan belum tahu bagaimana cara melindungi data pribadi mereka dalam transaksi digital.

Keterbatasan infrastruktur digital juga masih menjadi kendala, terutama di daerah yang masih memiliki jaringan internet terbatas. Di banyak wilayah pelosok, kualitas jaringan yang gak stabil menghambat akses terhadap layanan fintech dan digital banking.

Selain itu, tingginya biaya layanan P2P lending, terutama untuk pinjaman online (pinjol) dan โ€œBuy Now Pay Laterโ€ (BNPL), sering kali jadi isu yang dikeluhkan masyarakat. Bunga dan biaya administrasi pada layanan ini cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan pinjaman bank konvensional. Hal ini membuat pengguna mudah terjebak dalam lingkaran utang, khususnya bagi mereka yang mungkin gak sepenuhnya memahami konsekuensi jangka panjang dari bunga yang terus bertambah. Pentingnya transparansi biaya serta edukasi pengguna menjadi sangat mendesak untuk menghindari kesalahpahaman yang bisa merugikan masyarakat.

Di sisi lain, keberadaan pinjol ilegal yang nggak terdaftar di OJK juga menjadi ancaman besar. Pinjol ilegal sering kali memberlakukan bunga sangat tinggi, serta metode penagihan yang agresif dan gak manusiawi, bahkan sampai menyalahgunakan data pribadi nasabah. Pemberantasan pinjol ilegal dan peningkatan kepatuhan terhadap kode etik penagihan perlu ditegakkan secara konsisten, untuk melindungi masyarakat dari praktek-praktek yang nggak etis. Hal ini menuntut kerjasama antara pemerintah, otoritas terkait, dan perusahaan dan asosiasi perusahaan fintech untuk menciptakan regulasi yang gak cuma melindungi konsumen tetapi juga mempromosikan keberlanjutan industri yang bertanggung jawab.

Masalah lainnya adalah keamanan data. Di dunia digital, keamanan menjadi faktor yang sangat penting karena transaksi dilakukan secara online. Kasus pencurian data atau penipuan online masih sering terjadi, yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, perlu adanya sinergi antara pemerintah, penyedia layanan keuangan, dan masyarakat. Pemerintah perlu meningkatkan literasi keuangan dan keamanan data, sementara penyedia layanan fintech juga diharapkan terus memperbaiki sistem keamanan mereka.

Masa Depan Fintech dan Bank Digital

Ke depannya, fintech dan Bank Digital diharapkan bisa jadi bagian yang semakin integral dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Berbagai inovasi teknologi seperti Blockchain dan Artificial Intelligence (AI) sudah mulai diterapkan untuk meningkatkan keamanan dan personalisasi layanan keuangan. Teknologi ini juga memungkinkan fintech untuk menyediakan pengalaman keuangan yang lebih sesuai dengan kebutuhan spesifik setiap pengguna.

Selain itu, kolaborasi antara fintech dan institusi perbankan diprediksi akan semakin kuat, menciptakan ekosistem keuangan yang lebih inklusif. Dengan adopsi yang terus meningkat, terutama di kalangan milenial dan Gen Z, masa depan fintech dan digital banking di Indonesia terlihat sangat menjanjikan. Mereka bisa menciptakan jembatan antara teknologi dan layanan keuangan, sehingga bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk mereka yang tinggal di pelosok.

Dengan perkembangan teknologi yang pesat, masa depan inklusi keuangan di Indonesia cuma tinggal menunggu waktu.


share

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments